RUU Kesehatan, P3M: Petani Tembakau Terancam Dianggap

RUU Kesehatan, P3M: Petani Tembakau Terancam Dianggap –
RMOL.CO, Jakarta – Perhimpunan dan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) menilai Rancangan Undang Undang (RUU) Kesehatan 2023 mengancam para petani tembakau dan ekosistem industri hasil tembakau (IHT). Para petani tembakau dan ekosistem IHT akan tertimpa stigma penguras dana kesehatan dan dituding sebagai penyebab kematian apabila Pasal 154 tentang ruang lingkup zat adiktif pada hasil olahan tembakau RUU Kesehatan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Lebih parahnya akan mendapat label sebagai pelaku kriminal, layaknya para penanam ganja, pemakai atau bahkan pengedar narkoba,” katanya dalam keterangan tertulis, Rabu, 12 April 2023.
P3M menilai nasib pilu para petani tembakau akan semakin suram. Pemerintah semakin terkesan mengkriminalisasi para petani tembakau. Padahal petani tembakau adalah salah satu penyumbang devisa dalam negeri. Petani tembakau memiliki kontribusi menggerakkan tata niaga tembakau, hingga mampu menyumbang sekitar Rp 218 triliun bagi APBN terhitung per 2022-2023.
Jumlah yang fantastis dan tentu ini belum menghitung aktivitas ekonomi lain yang terdorong seiring produksi dan tata niaga tembakau di Indonesia. Namun selama ini petani tembakau selalu terpinggirkan. Hal ini tentu sangat kontraproduktif dengan semangat pemerintah untuk terus mendorong dan memajukan kesejahteraan para petani, termasuk petani tembakau.
Oleh karena itu, para petani dan perwakilan asosiasi petani tembakau menolak dan menuntut penghapusan beberapa poin dalam pasal 154 RUU Kesehatan. Sikap ini disampaikan dalam sesi focus group discussion (FGD) yang melibatkan para pihak atas inisiatif Lembaga P3M.
Pasal kontroversial lain adalah ayat (5) pasal 154 yang berbunyi, “produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf (d) dan huruf (e) harus memenuhi standar dan atau persyaratan Kesehatan”.
Persyaratan pemenuhan standar dan persyaratan kesehatan itu hanya diperuntukkan pada hasil tembakau dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya. Sedangkan pada zat adiktif dalam narkotika, psikotropika dan minuman keras beralkohol justru tidak berlaku. Sehingga aturan tersebut dianggap diskriminatif dan tidak mencerminkan rasa keberpihakan kepada nasib para petani tembakau.