Duh Rupiah, Sudah 3 Hari Tak Pernah Menguat

Duh Rupiah, Sudah 3 Hari Tak Pernah Menguat –
Jakarta, CNBC Indonesia – Rupiah melemah lagi melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (15/5/2023). Dengan demikian, sudah tiga hari rupiah tidak pernah menguat.
Melansir data Refinitiv, rupiah menutup perdagangan di Rp 14.795/US$, melemah 0,34% di pasar spot.
Rupiah sepanjang tahun ini sebenarnya menguat tajam melawan dolar AS, sehingga, koreksi teknikal tentunya wajar terjadi. Tercatat rupiah sepanjang tahun ini rupiah menguat lebih dari 5% menjadi mata uang terbaik di Asia, dan salah satu yang mencatat penguatan cukup tajam di dunia.
Data dari dalam negeri menunjukkan neraca perdagangan pada April 2023 mengalami surplus sebesar US$3,94 miliar. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan surplus neraca perdagangan ini merupakan surplus yang ke-36 bulan berturut-turut. Surplus tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan Maret 2023 yang mencapai US$ 2,91 miliar.
Konsensus pasar yang dihimpun RMOL dari 12 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada April 2023 akan mencapai US$ 3,34 miliar. Surplus tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan Maret 2023 yang mencapai US$ 2,91 miliar.
Artinya realisasi pada April lebih tinggi dari konsensus.
Surplus neraca perdagangan sebenarnya bisa memberikan dampak positif ke rupiah, sebab para eksportir sudah mulai tertarik memarkir dolar AS mereka di dalam negeri. Operasi moneter Term Deposit Valuta Asing Devisa Hasil Ekspor (TD Valas DHE) yang diterapkan BI sejak awal Maret sudah mulai sukses menarik dolar AS eksportir, bahkan ada yang menempatkan di tenor 6 bulan.
Artinya, valuta asing para eksportir lebih lama berada di dalam negeri, nilai tukar rupiah pun bisa lebih stabil.
Sementara itu serangkaian data dari Amerika Serikat pada pekan lalu sebenarnya memberikan tekanan bagi dolar AS. Inflasi terus menurun, klaim tunjangan pengangguran naik, dan data terakhir menunjukkan sentimen konsumen jeblok ke level terendah dalam enam bulan terakhir.
Universitas Michigan melaporkan indeks keyakinan konsumen pada Mei merosot ke 57,7, dari sebelumnya 63,5, juga jauh di bawah hasil survei Reuters sebesar 63.
“Meski data ekonomi belakangan menunjukkan tidak ada tanda-tanda resesi, kekhawatiran konsumen meningkat pada Mei, bersamaan dengan banyak berita negatif, termasuk dari krisis utang,” kata Joanne Hsu, Direktur Survei Konsumen Universitas Michigan, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (12/5/2023).
Inflasi pada April dilaporkan tumbuh 4,9% year-on-year (yoy) lebih rendah dari ekspektasi ekonom sebesar 5%. Inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan tumbuh 5,5%, lebih rendah dari bulan sebelumnya 5,6% tetapi sesuai ekspektasi.
Rilis data tersebut membuat ekspektasi kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed) pada bulan depan menurun. Data terbaru dari perangkat FedWatch milik CME Group menunjukkan pelaku pasar kini melihat probabilitas sebesar 9% The Fed akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 5,25% – 5,5% pada 14/15 Juni mendatang.
Probabilitas tersebut menurun drastis ketimbang sebelum rilis data inflasi, sebesar 21%.
Ekspektasi kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed) pada bulan depan memang rendah, tetapi dolar masih tetap kuat. Sebabnya, peluang pemangkasan suku bunga di akhir tahun juga mengecil. Artinya, The Fed diperkirakan akan menahan suku bunga tinggi dalam waktu yang lama.
“Saya pikir pasar mulai memikirkan kembali outlook pemangkasan suku bunga The Fed setelah rilis data inflasi, meski menurun, tetapi masih di level tinggi. Dolar AS mampu menguat jika pasar melihat peluang suku bunga dipangkas semakin kecil,” kata Joe Manimbo, analis pasar senior Convera di Washington, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (11/5/2023).
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Siap-Siap! Rupiah Mau “Cicipi” Rp 15.000/US$
(pap/pap)