Anies Sebut Emisi Mobil Listrik Lebih Tinggi, Benarkah?

Anies Sebut Emisi Mobil Listrik Lebih Tinggi, Benarkah? –
Jakarta, RMOL – Calon Presiden Anies Baswedan beberapa waktu lalu sempat mengkritisi subsidi mobil listrik. Menurutnya, subsidi mobil listrik tidak tepat sasaran karena pemilik mobil listrik merupakan kelompok warga mampu. Selain itu, dia menilai mobil listrik menghasilkan emisi lebih tinggi dibandingkan bus berbahan bakar minyak (BBM).
Lantas, tepatkah kritikan Anies tersebut?
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai hal tersebut harus dilihat dalam pandangan yang lebih luas. Dia menilai, mobil listrik yang saat ini beredar di Indonesia masih menggunakan listrik yang bersumber dari energi kotor yakni batu bara.
Komaidi mengungkapkan bahwa Indonesia masih banyak menggunakan listrik berbasis Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang mana menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar. Komaidi menyebut, penggunaan listrik berbasis PLTU RI mencapai 70% dari total penyerapan listrik nasional.
“Saya kira konteksnya harus lebih utuh, tapi kalau hanya melihat dari aspek lingkungan memang kemudian ada beberapa yang perlu dilihat lebih detail. Kalau kita lihat listriknya, ini kan diproduksi sebagian besar mungkin sekarang 65-70% dari batu bara,” jelas Komaidi kepada RMOL dalam program Energy Corner, Selasa (16/5/2023).
Komaidi membeberkan bahwa emisi yang dihasilkan melalui batu bara justru lebih besar dibandingkan dengan emisi yang dihasilkan melalui BBM. Adanya mobil listrik di Indonesia, menurut Komaidi, memang mengurangi emisi karbon yang dihasilkan melalui BBM, namun justru menambah emisi yang dihasilkan melalui PLTU batu bara.
“Kalau BBM dengan berbagai RON atau Cetane Number itu di kisaran antara 72-75 CO2 ton per terra joule. Sementara kalau batu bara kisarannya antara 99-106 (CO2 ton per terra joule). Artinya memang lebih besar. Artinya kalau listrik yang digunakan (mobil listrik) masih dari batu bara artinya emisi masih lebih besar dari mobil BBM, hanya bergeser saja,” papar Komaidi.
Dengan begitu, Komaidi menilai bahwa transisi transportasi menjadi kendaraan listrik masih harus diikuti dengan transisi energi dari PLTU batu bara menjadi energi terbarukan.
“Ibaratnya di depannya kita punya warung di depannya sudah bagus, tapi dalam dapurnya masih sangat kotor. Jadi kan harusnya secara paralel di dapurnya juga harus dirapikan,” tuturnya.
Sebelumnya, Anies mengkritik kebijakan pemerintah yang memberikan subsidi mobil listrik. Kebijakan tersebut dinilai salah sasaran.
Menurut Anies, pembeli mobil listrik rata-rata berasal dari kalangan keluarga mampu. Dengan demikian, pemberian subsidi untuk pembelian mobil listrik dirasa kurang tepat.
“Solusi menghadapi tantangan lingkungan hidup polusi udara bukanlah terletak di dalam subsidi mobil listrik yang pemilik mobil listriknya yang mereka-mereka tidak membutuhkan subsidi. Betul?,” kata Anies dalam acara “Deklarasi dan Pengukuhan Amanat Indonesia”, Minggu (07/05/2023).
Di samping itu, pemberian subsidi mobil listrik bukan menjadi solusi dalam mengatasi persoalan polusi udara. Anies menyebut emisi karbon yang dihasilkan dari penggunaan mobil listrik pribadi berpotensi lebih besar dibandingkan dengan transportasi umum seperti bus berbahan bakar minyak (BBM).
“Kalau kita hitung apalagi ini contoh ketika sampai kepada mobil listrik emisi karbon mobil listrik per kapita per kilometer sesungguhnya lebih tinggi daripada emisi karbon bus berbahan bakar minyak,” kata Anies.
Kondisi tersebut terjadi lantaran mobil listrik hanya dapat digunakan untuk keperluan pribadi penggunanya. Sementara bus dapat digunakan untuk kepentingan umum dan dapat memuat banyak orang.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Anies Sebut Polusi Mobil Listrik Lebih Tinggi lho, Kok Bisa?
(wia)