Biden – McCarthy Mulai Sehati, Amerika Tak Jadi “Bangkrut”?

Biden – McCarthy Mulai Sehati, Amerika Tak Jadi “Bangkrut”? –
- IHSG dan rupiah kompak menguat di awal pekan, Senin (22/5), didorong sejumlah sentimen positif.
- Wall Street menguat di tengah Joe Biden dan DPR AS kembali bernegosiasi soal plafon utang.
- Investor akan kembali mengamati sentimen dari luar negeri, terutama soal plafon utang AS, sembari menunggu keputusan suku bunga BI pada Kamis mendatang.
Jakarta, RMOL – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah kompak menguat di awal pekan, Senin (22/5/2023).
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) IHSG menguat 0,43% ke level 6.729,64 pada penutupan sesi II Senin.
Dalam lima hari perdagangan IHSG naik 0,33%.Sementara itu secarayear to date (ytd) indeks membukukan koreksi sebesar 1,77%.
Kenaikan IHSG pada Senin ditopang oleh 297 saham, sementara 255 saham melemah, dan 188 saham lainnya terpantau jalan ditempat alias tidak berubah.
Perdagangan pada Senin melibatkan 18,66 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,41 juta kali. Selain itu, nilai perdagangan tercatat mencapai Rp 11,05 triliun.
Asing melakukan pembelian bersih Rp411,60 miliar di pasar reguler pada Senin.
Mengacu pada data Refinitiv mayoritas sektor menguat. Konsumen primer menjadi yang paling menguntungkan indeks, naik 1,09%.
Sementara itu, investor tengah menanti Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) yang akan berlangsung pada 24-25 Mei 2023. Sejauh ini, para ekonom memperkirakan Bank Indonesia akan menahan suku bunga pada level 5,75%.
BI terakhir mengerek suku bunga acuan pada Januari. Secara total sejak Agustus 2022, suku bunga acuan telah naik 225 basis poin (bps).
Deputi Gubernur BI Juda Agung mengungkapkan bahwa masih terlalu dini bagi Bank Indonesia untuk mempertimbangkan pemangkasan suku bunga, meskipun inflasi sudah mulai melandai.
“Masih terlalu dini untuk mengatakan kapan kami [Bank Indonesia] akan memangkas suku bunga. Ya, inflasi inti bahkan sudah lebih rendah dari 3%. Tapi tentu saja masih ada beberapa risiko,” ujar Juda.
Sementara, rupiah sukses menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (22/5), hingga kembali ke bawah Rp 14.900/US$. Ini menjadi penguatan pertama dalam 6 hari perdagangan terakhir. Rupiah tercatat sukses menguat 0,23% ke Rp 14.885/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell yang berbicara pada Jumat pekan lalu membuat rupiah menguat. Powell yang berbicara pada konferensi moneter di Washington mengatakan suku bunga tidak akan setinggi perkiraan pasar.
“Kebijakan stabilitas keuangan membantu menenangkan kondisi perbankan. Di sisi lain, perkembangan sektor perbankan berkontribusi pada kondisi kredit yang lebih ketat dan cenderung membebani pertumbuhan ekonomi, perekrutan tenaga kerja dan inflasi,” kata Powell sebagaimana dikutipCNBC International, Jumat (19/5/2023).
“Hasilnya, suku bunga kemungkinan tidak perlu naik setinggi yang seharusnya dilakukan untuk mencapai target kami,” tambah Powell.
Meski demikian, ia menegaskan langkah ke depannya masih dipenuhi ketidakpastian. Indeks dolar AS yang sebelumnya sangat kuat berbalik turun 0,37% pada Jumat lalu, dan berlanjut pada 0,13% perdagangan Senin (22/5/2023).
Pasar saat ini melihat probabilitas kenaikan suku bunga pada bulan depan hanya 10%, turun dari sebelumnya yang sempat mencapai 30%, melansir data FedWatch milik CME Group. Probabilitas kenaikan suku bunga tersebut sangat volatil belakangan ini akibat rilis data tenaga kerja yang masih kuat, sementara inflasi dalam tren menurun.
Powell juga menyebut masalah inflasi pada pekan lalu. Menurutnya inflasi masih terlalu tinggi, dan kegagalan membawa turun dengan cepat bisa memberikan penderitaan yang panjang bagi warga Amerika Serikat.
“Kami pikir kegagalan menurunkan inflasi tidak hanya berdampak pada penderitaan yang panjang, tetapi juga meningkatkan biaya sosial untuk mencapai stabilitas harga, menyebabkan kerugian yang lebih besar bagi rumah tangga maupun dunia usaha,” ujar Powell.
Ia mengatakan The Fed bertujuan untuk menghindari hal tersebut, dan terus berusaha untuk mencapai target inflasi sebesar 2%.
Inflasi AS pada April dilaporkan tumbuh 4,9% year-on-year (yoy) lebih rendah dari ekspektasi ekonom sebesar 5%. Inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan tumbuh 5,5%, lebih rendah dari bulan sebelumnya 5,6% tetapi sesuai ekspektasi.
Sementara itu beberapa pejabat elit The Fed masih bersikap hawkish pekan lalu. Presiden The Fed wilayah Richmond Thomas Barkin misalnya menyatakan ia masih “nyaman” jika suku bunga kembali dinaikkan untuk menurunkan inflasi. Hal tersebut diungkapkan setelah rilis data penjualan ritel yang masih kuat, menjadi indikasi inflasi akan sulit untuk turun.