Menteri Tjahjo Menciderai UU Pilkada
RMOL. Mendagri Tjahjo Kumolo diduga bisa melanggar konstitusi dan terutama UU Pilkada bila tetap menempatkan dua perwira tinggi Polri sebagai pejabat sementara (Pjs) gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara.”Ketentuan UU Pilkada telah diatur secara limitatif bahwa hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang bisa menjadi Penjabat Gubernur. Bagaimana mungkin kemudian perwira tinggi Polri aktif bisa disetarakan dengan pimpinan tinggi madya dan ini terkesan dipaksakan,” kata pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, Minggu (28/1).Menurut Pangi, Mendagri patut diduga melanggar peraturan dan regulasi yang dibuat sendiri. “Pertanyaannya apakah memang betul tidak ada lagi pejabat karir dan profesional di Kemendagri dan pejabat tingkat provinsi mengisi posisi pos pejabat gubernur,” kata Pangi.Dalam Permendagri Nomor 74 Tahun 2016, Pasal 4, Ayat 2, menyebutkan pejabat gubernur harus diisi pejabat pimpinan tinggi madya kementerian dalam negeri atau pemerintah provinsi. Selanjutnya jabatan pelaksana tugas atau pejabat gubernur harus berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya yang berasal dari kalangan sipil sebagaimana diatur di dalam Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada.Alasan Mendagri Tjahjo Kumolo menempatkan pati Polri sebagai Pjs gubernur di Jabar dan Sumut, pertama karena Pilkada serentak di 17 provinsi sehingga menyebabkan persediaan pejabat tinggi pimpinan madya di Kemendagri habis. Kedua, Jabar dan Sumut merupakan daerah dengan jumlah pemilih terbesar di Jawa dan di pulau Sumatera yang rawan konflik (chaos). Sebab itulah alasan menempatkan pati Polri sebagai Penjabat Gubernur dianggap pilihan terbaik.”Memang itu hak prerogatif dari Mendagri, namun jangan sampai terkesan pemerintah suka-suka dalam mengelola negara, dan dikelola secara amatiran. Mengelola negara harus berbasiskan koridor hukum dan sesuai aturan main konstitusi, bukan regulasi yang dilanggar sesuka hati,” jelasnya.Untuk alasan pertama, ia menilai juga keliru dan tidak common sense. “Bagaimana mungkin persediaan pemimpin tinggi madya habis, artinya tidak mencukupi untuk 17 provinsi,” kata Pangi, menyangsikan. Sementara ada sekda atau pejabat di daerah provinsi. “Sekali lagi, apakah betul tidak mencukupi? Mengapa harus pati Polri menjadi pejabat gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara?” tanyanya. Pangi menambahkan, patut diwaspadai TNI dan Polri diseret-seret ke gelanggang ranah politik praktis. Sebab sudah ada sinyal dan koding dugaan ke arah sana. Ada resiko yang tak main-main yaitu mengganggu kualitas demokrasi itu sendiri (fair play). “Jangan sampai demokrasi dan Pilkada dibajak oleh oknum yang punya niat untuk curang dalam kontestasi elektoral Pilkada Serentak 2018,” ujarnya. Konsekuensi dihapusnya dwifungsi ABRI, memastikan netralitas Polri yang bertanggung jawab terhadap keamanan negara. Reformasi yang telah berhasil memisahkan dan menjaga netralitas kedua institusi tersebut, menurut dia, jangan digoda-goda terjun ke politik praktis.”Para kontestan baik calon bupati, wali kota dan gubernur jangan salahkan mereka nanti menolak hasil proses Pemilu karena tidak menjunjung semangat jujur dan adil (jurdil). Jangan paksa dan berharap mereka menerima hasil dengan legowo, apabila diduga ada yang ganjil dan tak beres dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018,” jelasnya.Ia menilai wajar masyarakat menaruh curiga dengan usulan Pjs Gubernur dari polisi aktif karena PDIP, partai bernaungnya Menteri Tjahjo, saat ini mengusung calon kepala daerah di Jabar dengan latar belakang TNI dan Polri.
“Jangan sampai menghalalkan segala cara untuk memenangkan sebuah kontestasi elektoral Pilkada dan melanggar regulasi serta fatsun politik,” tegas Pangi.[wid]
Sabtu, 03 Maret 2018 | 22:43
Sabtu, 03 Maret 2018 | 22:32
Sabtu, 03 Maret 2018 | 21:59
Sabtu, 03 Maret 2018 | 21:49
Sabtu, 03 Maret 2018 | 21:07
Sabtu, 03 Maret 2018 | 20:58
Sabtu, 03 Maret 2018 | 20:44
Sabtu, 03 Maret 2018 | 20:32
Sabtu, 03 Maret 2018 | 20:30
Sabtu, 03 Maret 2018 | 20:26
Selengkapnya